Review Film: Five Feet Apart, Ketika Renjana Dipatahkan Jarak



Setelah sekian kali bermain peran di beberapa film layar lebar maupun film pendek, kini Justin Baldoni melebarkan sayapnya di dunia film dengan menjadi sutradara.
Five Feet Apart adalah film debut garapannya yang sudah rilis di beberapa bioskop mancanegara. Diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Rachel Lippincott, Five Feet Apart adalah rekomendasi film drama romantis yang harus kamu tonton di bulan Maret ini.
Film ini secara keseluruhan bercerita tentang kisah cinta Stella Grant (Haley Lu Richardson) dan Will Newman (Cole Sprouse). Keduanya merupakan pasien CF (Cystic Fibrosis) yang bertemu di sebuah rumah sakit khusus paru-paru yang menangani banyak pasien CF. Penyakit ini menyerang paru-paru, hati, ginjal, dan usus yang diakibatkan kelainan pada produksi lendir mereka.

Mereka berdua adalah sepasang remaja yang sama-sama memiliki waktu hidup terbatas karena penyakit yang mereka derita. Bersama-sama berjuang untuk melawan penyakitnya walau mengerti salah satu dari mereka cepat atau lambat akan lebih dulu pergi.
Sebuah kisah klise yang mungkin pernah kamu tonton di film-film drama percintaan lainnya. Namun, Five Feet Apart punya kisah-kisah yang tidak sama dengan film drama percintaan lainnya.
Ada emosi penonton yang digali di sepanjang cerita. Emosi ini tak terlepas dari naskah film yang tepat dan bagaimana dua pemeran utamanya memainkan peran mereka.
Cinta tak selalu berbicara hal-hal yang menyenangkan. Cinta akan selalu berbicara tentang perdebatan-perdebatan kecil yang menyenangkan dan memaknai kehilangan.

Karakter yang Kuat



Sekilas, film ini memang mengingatkan akan film The Fault in Our Stars yang rilis pada tahun 2014 lalu. Yang membuat film ini unik adalah penokohan masing-masing karakternya yang sangat kuat. Stella Grant sudah mengidap penyakit CF sejak umur 7 tahun yang membuatnya harus berkali-kali pulang pergi dari rumah sakit. Ketika remaja, penyakitnya diklaim sudah semakin parah dan mengharuskan Stella tinggal di rumah sakit sepanjang hidupnya.
Tidak malu terhadap apa yang dideritanya, Stella menghabiskan waktunya di rumah sakit dengan menjadi seorang vlogger. Stella membagikan kisahnya dengan para pengikut setia di laman YouTube miliknya. Karakter Stella yang optimis dan tetap riang digambarkan sangat bertolak belakang dengan karakter Will.
Will Newman adalah sosok remaja laki-laki yang pesimis terhadap penyakit yang dideritanya. Berbeda dengan Stella yang selalu mengikuti prosedur perawatan rumah sakit, Will tidak pernah mengikutinya. Will menganggap bahwa apapun usaha yang dilakukan pada akhirnya akan berujung kepada kematian.
Diceritakan bagaimana Stella berusaha meyakinkan Will untuk tetap optimis dengan hidupnya, dan sebaliknya Will membuat Stella menjadi lebih realistis terhadap penyakit yang mereka derita.
Salah satu karakter yang menarik perhatian adalah Poe (Moises Arias), teman masa kecil Stella yang sudah bersama-sama di rumah sakit tersebut dari lama.
Penokohannya yang dibangun secara unik ini berhasil menjadi ‘penyegar’ dan membuat penonton tertawa lepas di sela-sela adegan emosional yang disuguhkan sepanjang film. Salah satu adegan dari Poe juga menjadi salah satu titik kunci paling emosional di film ini walaupun dia bukan tokoh utama.

Cinta Selalu Punya Celah


Kisah romantisme sepasang remaja ini memang mudah ditebak. Keduanya memiliki penyakit, berjuang bersama-sama melawannya, lalu salah satu harus ‘pergi’ lebih dulu dan satunya lagi harus ikhlas melepas kepergian orang yang ia cintai.
Tidak ada yang spesial, pendekatan awal keduanya juga datar-datar saja. Namun, ide cerita yang unik menjadi salah satu kekuatan dari film ini. Sebagai sesama pengidap Cystic Fibrosis keduanya tidak boleh berdekatan terlalu dekat.
Namun, keduanya punya keinginan menentang aturan tersebut. Demi rindu, gelisah, kondisi yang membuat keduanya tidak boleh berdekatan dengan jarak enam kaki, mereka menentang peraturan yang ada dengan menurunkan jaraknya menjadi lima kaki.
Yang membuat film ini masih menarik untuk diikuti adalah tidak hanya kisah percintaan saja yang disajikan. Bagaimana Stella dan Will menghadapi permasalahan hidup yang lebih dari penyakitnya saja.
Mereka juga diterpa masalah keluarga, pertemanan, dan problema hidup lainnya yang sukses membuat penonton merasakan sisi-sisi emosional yang disajikan di sepanjang film.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, film ini masih layak dan nyaman untuk ditonton secara keseluruhan. Adegan emosionalnya akan tetap dirasakan karena banyak kejutan yang muncul di film ini. Five Feet Apart sangat direkomendasikan untuk kamu yang ingin menonton film drama romantis bersama pasangan, keluarga, atau teman-temanmu.
Bosan dengan film  aksi dan horor yang ada di bioskop minggu ini, BookMyShow merekomendasikan kamu untuk menonton Five Feet Apart.





REVIEW : YOWIS BEN 2




“Koen kabeh eling. Nek ga sukses, uripmu kabeh bakal sepi koyo kuburan iki.”

“Jare sopo sepi? Rame ngene og.”

Saat dirilis di bioskop pada tahun 2018 silam lalu, siapa yang menyangka Yowis Ben akan disambut dengan sangat hangat oleh penonton? Keputusan untuk menggunakan Bahasa Jawa Malangan sebagai dialog utama jelas terbilang nekat, bahkan sempat pula mengundang kontroversi tak perlu yang dikait-kaitkan dengan masalah nasionalisme. Bagi penonton yang tak memahami Bahasa Jawa, Yowis Ben bisa jadi kurang menggoreskan kesan. Namun bagi mereka yang paham betul terlebih bagi penutur asli dialek Malang dan sekitarnya, film ini menghadirkan sebuah hiburan mengasyikkan. Narasinya membumi, begitu pula dengan guyonan-guyonannya yang terdengar akrab di telinga. Sebagai orang Jawa tulen yang kebetulan cukup mengenal kota Malang, saya jelas menikmati suguhan dari Fajar Nugros bersama Bayu Skak ini. Memang jauh dari kata sempurna (well, ada banyak sekali catatan yang saya tinggalkan buat film ini), tapi saya menyukai nada penceritaannya yang begitu enerjik sekaligus mengalir lancar seolah tanpa beban. Tipe tontonan yang enak disimak beramai-ramai maupun dimanfaatkan untuk mengobati kegundahan hati. Puecah pol! Kesanggupan saya dalam menemukan sisi excitement yang terkandung di Yowis Ben ini tentu membuat saya bergembira begitu mendengar kabar bahwa film kelanjutannya telah dipersiapkan. Hanya saja, saya pun memiliki sejumlah kekhawatiran terhadap nasib film ini yang dipicu oleh: 1) adanya kemungkinan si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan pun tak lagi luwes, dan 2) adanya kemungkinanYowis Ben 2 terkena kutukan sekuel. Saya pun seketika berdoa, “semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi. Semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi.”

Dalam Yowis Ben 2 yang mengambil latar penceritaan satu tahun selepas film pertama, penonton dipertemukan kembali dengan para personil Yowis Band yang terdiri atas Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), serta Yayan (Tutus Thomson). Tidak lagi dijadikan sasaran bulan-bulanan, kini Yowis Band cukup sering memperoleh tawaran manggung meski baru sebatas dalam lingkup kota Malang. Gagasan untuk memperluas sayap Yowis Band ke tingkatan lebih luas lantas muncul setelah keluarga Bayu dihadang masalah pelik: terancam ditendang dari kontrakan apabila gagal melunasi tungakkan uang sewa. Cak Jon (Arief Didu) selaku manajer Yowis Band pun mencoba membantu dengan mencarikan undangan manggung bagi band kesayangannya ini yang sayangnya justru berakhir buruk. Alih-alih mendapatkan uang, mereka lebih sering ditodong uang karena menciptakan kekacauan. Ditengah kekecewaan karena jalan menuju ketenaran tampak telah tertutup rapat, Bayu bertemu dengan Cak Jim (Timo Scheunemann) yang mengaku sebagai manajer artis profesional. Cak Jim menawari sekelompok anak muda ini dengan iming-iming menggiurkan yakni meniti karir bermusik di kota Bandung. Berhubung Bayu membutuhkan uang untuk membayar hutang, Yayan memerlukan tabungan untuk menghidupi istri yang baru dinikahinya, Nando mencari pelampiasan atas kekecewaannya terhadap sang ayah, dan Doni menginginkan seorang kekasih, maka mereka pun menerima kontrak dari Cak Jim tanpa berpikir panjang. Yowis Band memecat Cak Jon, hengkang dari Malang, lalu terbang menuju Bandung dimana segalanya ternyata sama sekali tak sesuai dengan bayangan mereka.  


Mengikuti tradisi tak tertulis dari sekuel, Bagus Bramanti selaku penulis skenario pun memperluas sekaligus memperumit guliran pengisahan yang diusung olehYowis Ben 2. Bukan lagi sebatas kisah memenangkan pujaan hati menggunakan jalur band, ini juga kisah tentang memperjuangkan mimpi dan bagaimana idealisme beserta prinsip seringkali berbenturan dengan realita ditengah perjalanan dalam merengkuh mimpi tersebut. Memang terdengar cukup berat, tapi Yowis Ben 2 sendiri tak pernah tertarik untuk menguliti persoalan yang dikemukakannya ini secara mendalam. Sederet konflik yang menghiasi film seperti Nando yang sulit menerima kenyataan kalau dirinya akan memiliki ibu tiri, Doni yang kebelet memiliki pacar, sampai Yayan yang menikahi Mia (Anggika Bolsterli) melalui proses ta’aruf terasa sekadar numpang lewat. Si pembuat film seolah hanya ingin menggugurkan kewajiban untuk memberikan persoalan kepada karakter-karakter pendukung sehingga film tak terkesan Bayu-sentris. Semua-muanya tentang Bayu. Saya mulanya senang-senang saja mendengar keputusan ini terlebih penonton sejatinya masih kurang mengenal karakter Doni dan Yayan yang kehidupan pribadinya belum digali di film pertama. Namun seiring berjalannya durasi, Yowis Ben 2 tiba-tiba melupakan mereka dan kembali mengedepankan masalah Bayu yang sekali lagi berkutat dengan asmara. Saya pun dibuat bertanya-tanya, apakah memberi pasangan bagi karakter ini adalah suatu kewajiban? Mengapa film tidak fokus saja kepada narasi perihal pergulatan Yowis Band dalam meniti karir dan bagaimana realita ternyata tak sejalan dengan ekspektasi yang telah mereka tanamkan?

Maksud saya, pilihan kedua terasa lebih nyaman diikuti apalagi film sejatinya berada di momen-momen terbaiknya saat menyoroti keempat personil Yowis Band. Saya penasaran dengan proses pendewasaan diri dari para karakter utama. Soal masalah-masalah mereka, pandangan-pandangan mereka, atau pilihan-pilihan mereka berkenaan dengan masa depan band. Apalagi ada pertaruhan besar menanti dimana kesalahan dalam mengambil keputusan dapat meretakkan hubungan yang telah dibina dengan baik. Ketimbang mengeksplorasinya, si pembuat film lebih memilih untuk menyodori penonton dengan kisah Bayu bersama perempuan yang ditaksirnya, Asih (Anya Geraldine), beserta ayahnya yang terkesan diada-adakan demi memberi kesempatan bagi Bayu untuk memperoleh pengganti Susan (Cut Meyriska) dan menjejali penonton dengan setumpuk pesan moral. Entahlah, tidak seperti film pertama yang bisa mengalir lancar, saya merasa Yowis Ben 2 terlalu berusaha untuk menjadi sajian yang lebih mengesankan dari sang pendahulunya sehingga terkesan dibuat-buat. Upayanya dalam menyelipkan tuntunan membuat film terasa amat ceriwis di beberapa titik, lalu upayanya dalam menghadirkan narasi lebih kompleks tidak dibarengi dengan penyampaian mumpuni yang membuat konklusinya terasa menggampangkan. Peralihan adegan yang cenderung melompat-melompat tentu sama sekali tidak membantu. Padahal film sejatinya sudah tampil meyakinkan di menit-menit awal yang terlihat dari banyolan-banyolannya yang masih mengundang gelak tawa riuh, kemunculan Anggika Bolsterli yang menambah level kegilaan diantara personil Yowis Band, barisansoundtrack yang mudah nempel di telinga, sampai perpaduan dengan budaya Sunda yang menciptakan gegar budaya menggelitik.


Tapi sedari keterlibatan karakter Asih secara aktif dalam narasi yang menggerus cabang konflik lain (termasuk Cak Jon yang nyaris tak lagi dibahas), Yowis Ben 2mulai luntur pesonanya yang turut dibarengi pula oleh menurunnya tingkat kelucuan humornya. Memang masih menghibur, hanya saja tiada momen “pecah puol!” yang bisa dijumpai di sisa durasi. Saya tentu kecewa karena kekhawatiran yang sempat saya ungkapkan di paragraf pembuka ternyata benar-benar terjadi. Kentara terasa, si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan dalam Yowis Ben 2 tak benar-benar mengalun secara luwes.





Review Film: Lewat Yowis Ben, Bayu Skak Hadirkan Komedi Khas Malang



Setelah sukses dengan Susah Sinyal pada akhir tahun lalu, Starvision Plus kembali menghadirkan film komedi drama bertajuk Yowis BenFilm drama komedi ini disutradarai oleh Fajar Nugros dan co-director Bayu Skak akan meramaikan pasar komedi-drama di layar lebar Indonesia.
Berawal dari keinginan mendapatkan pengakuan diri dari lingkungannya, Bayu (Bayu Skak) dan Doni (Joshua Suherman) memutuskan mendirikan sebuah band untuk meningkatkan kepopuleran mereka di sekolah. Bayu yang di-bully karena ditolak cinta dan disebut “Pecel Boy” serta Doni yang ingin mendapat pengakuan dari orang tuanya, akhirnya mereka mengadakan sayembara untuk mencari personel band.
Sayembara pencarian personel untuk drummer dan keyboardist pun berujung pada bergabungnya Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Petualangan pencarian pengakuan dari lingkungan pun dimulai, walau bingung di awal namun akhirnya mereka menamakan band mereka Yowis Ben. Empat serangkai ini pun mendadak menjadi hits di dunia maya, membuat mereka menjadi terkenal se-sekolah bahkan se-kota Malang. Karena kepopuleran mereka, muncullah Susan (Cut Meyriska), wanita yang diidamkan oleh Bayu, kemunculannya pun berdampak pada keretakan empat serangkai ini.



Sekilas, ide cerita yang dihadirkan oleh Bayu Skak ini terlihat seperti kisah band klise: susah-sukses-wanita-bubar. Namun, Bayu dan sang sutradara Fajar Nugros, menghadirkan treatment baru dalam kisah film ini. Hampir semua dialog diucapkan dengan Bahasa Jawa akan menghadirkan sisi lain di film ini.
Bahasa Jawa yang digunakan seakan sebagai roh dari setiap lawakan dan adegan konyol dalam film ini yang akan membuat penonton terpingkal. Jangan khawatir untuk kamu yang tidak mengerti Bahasa Jawa! Dalam film ini akan dihadirkan subtitle yang terasa pas dan natural.
Film komedi-drama ini juga menghadirkan musik-musik orisinal ramah di telinga yang dimainkan oleh Yowis Ben. Walau dengan musik yang asyik, namun sayang beberapa adegan selalu disisipkan scoring musik yang dirasa tidak pas.



Dari segi akting bisa dibilang Bayu Skak menghadirkan performa yang cukup baik, perannya yang merupakan anak Jawa asli pun diperankan sangat natural. Joshua Suherman juga patut diberi apresiasi karena aktingnya, tanpa berlebihan ia berhasil memainkan setiap adegan dengan rapi. Begitu juga dengan Brandon Salim yang memerankan Nando, pria populer di SMA dengan baik. Walau aksen Jawanya terasa janggal, hal tersebut diantisipasi oleh sang sutradara dengan pengungkapan bahwa Nando pernah tinggal di Jakarta. Namun sayang tidak diceritakan kenapa Susan yang diperankan Cut Meyriska memiliki aksen “Jakarta” yang fasih, walau ia tinggal di Malang.
Secara keseluruhan Yowis Ben merupakan film komedi segar di awal tahun. Setiap adegan yang mengalir akan dengan mudah dicerna penonton, walau dengan Bahasa Jawa. Alurnya yang simpel sangat cocok untuk penonton yang suka dengan genre komedi-drama dengan bumbu romansa di dalamnya.

About Me


Nama saya Oswaldo Dirjosoputro Tonok , bisa di panggil Aldo , saya lahir pada tanggal 22, April 1999 Di Makassar . Saya sekarang sudah kuliah dan kampus saya di STMIK PROFESIONAL Makassar . Bapak saya berasal dari Manggarai NTT dan Mama berasal dari Tulungagung Jawa Timur . Saya dua bersaudara , saya anak pertama dan adik ku sudah duduk di bangku SMP bentar dia masuk SMA . Hobi saya sepak bola dan nonton film , dan saya suka liburan di kampung halaman ibu saya karena suasana disana membuat saya nyaman , contohnya Saudara Mama saya menjual nasi pecel per porsi itu 3 ribu sampai 5 ribu . Nah dari situ tadi saya membuat saya senang karena gaya hidup di sana murah , 100 rb sudah bisa hidup satu bulan.